Jumat, 19 Juni 2020

Mengapa Surat Kabar Sekarang Tipis-tipis?

Mengapa Surat Kabar Sekarang Tipis-tipis?




HARI ini saya nampaknya tiba begitu pagi sampai di kantor. Tidak ada pekerjaan penting. Juga rapat manajemen akan diawali jam 10.00, tetapi saya telah tiba di lobby gedung jam 06.30. "Selamat pagi, pak," sapa petugas ramah sambil menjulurkan tangannya mengecek suhu badan saya. 

Sebab ada demikian beberapa waktu, saya juga putuskan tidak langsung ke meja kerja , tapi pilih sekedar duduk di lobby sambil membaca-baca koran berlangganan kantor. Koran-koran itu barusan terkapar demikian saja di lantai karpet. Office boy kantor tentu belumlah ada yang tiba, pikirkan saya.

Tapi, belum saya mengawali membaca, mendadak saja saya jadi tertarik dengan halaman koran, yang menurut saya, benar-benar tipis itu! Kenapa tipis sekali!?

Saya selanjutnya menghitung-hitung berapakah jumlah halaman 4 (empat) koran berlangganan kantor itu, serta berikut hasilnya: Kompas = 16 halaman, Usaha Indonesia = 20 halaman. Media Indonesia = 16 halaman. Republika = 16 halaman.

"Tipis sekali," guman saya. Tapi, ahh, rupanya tidak diduga, koran-koran yang halamannya tipis itu malah justru jadi sentra inspirasi saya membuat artikel ini. Ya! Kenapa saya tidak menuliskan saja?

Dahulu, seputar tahun 1994 sampai tahun 1995, saya tetap meluangkan singgah ke kios penjual koran di samping rumah saya, sebelum pergi kerja, untuk beli media massa JawaPos serta Kompas (eceran). Untuk apa jika tidak memburu iklan lowongan pekerjaan! Saya menyenangi JawaPos serta Kompas sebab ke-2 koran itu berisi banyak lowongan pekerjaan. Ditambah lagi koran Kompas terbitan Sabtu yang sarat dengan iklan lowongan yang terpasang perusahaan-perusahaan besar kelas multinasional. Gairahku seringkali meletup-letup.

Bermain Taruhan Bola Secara Online Lebih Menguntungkan

Kucoba mengingat-ingat, di saat itu, jumlah halaman media massa JawaPos serta Kompas itu masih tebal. JawaPos, contohnya, diciptakan jadi 3 sisi: kabar nasional, metropolis, serta olah raga, serta semasing dari beberapa bagian itu diciptakan benar-benar tebal: 24 halaman. Karena itu, bila dikalikan 3 (bagian), jumlah halaman media massa JawaPos dahulu itu betul-betul benar-benar tebal! Anda yang berusia lebih dari pada 40 tahun pasti masih ingat dengan media massa Kompas serta JawaPos zaman dulu..

Tapi kenapa koran saat ini jumlah halamannya tipis-tipis? Apa koran-koran bikin saat ini berisi semakin sedikit ruangan untuk berisi kabar serta content editorialnya?

Saya sebetulnya tidak betul-betul pahami tepat semenjak kapan koran-koran berlangganan kantor itu mulai tipis halamannya, karena sejauh ini saya memang belum pernah memperhatikannya -- serta tentunya sebab saya belum pernah tiba menyusul office boy. Mereka lah yang ambil dan mengaturnya di ruangan rapat.

Saya awalannya menduga-duga, mungkin saya ialah sedikit dari banyak pembaca koran yang (kemungkinan) telah mendapatkan kesan-kesan jika, sebab koran saat ini semakin tipis serta lebih mudah karena itu ruangan kabar saat ini turut tipis atau bertambah lebih sedikit. Tapi bisa sangkaan saya itu salah. Jumlah halaman koran bisa tipis, tapi itu khususnya (bisa) karena disebabkan penyempitan space iklan sebab beberapa advertiser itu telah pergi. Jadi, di saat yang sama, apakah yang mereka ucap "ruangan kabar" - ruangan yang didistribusikan untuk berisi kabar, photo, serta content editorial lainnya- sebetulnya masih perbedaan berkurang sekitar ruangan iklannya.

Yaps, sangkaan saya yang paling akhir (khususnya karena disebabkan penyempitan space iklan) dapat jadi betul ada. Apakah yang saya pikir, yang sedang berlangsung ini hari, sama seperti yang saya catat di artikel "The Death of Mainstream Media" dapat jadi menceritakan situasi atau fakta itu.


Tak Ada Helmy Yahya, Tak Ada Siaran Liga Inggris di TVRI

Tak Ada Helmy Yahya, Tak Ada Siaran Liga Inggris di TVRI




Liga Inggris kembali lagi berguling tanggal 17 Juni 2020 sesudah istirahat lama nyaris 3 bulan dampak dari perlakuan Epidemi Covid-19.

Laga pertama saat hibernasi, akan menghadapkan di antara Aston Villa versus Sheffield United, selanjutnya Big Match di antara si juara bertahan Manchester City musuh team asal London The Gunners Arsenal.

Fans Liga Inggris di penjuru dunia tentunya bersuka cita, termasuk juga di Indonesia. Tetapi cita yang tinggi untuk melihat tayangan ini dengan cara langsung serta gratis lewat stasiun tv seperti sebelum liga ini disetop bulan Maret 2020 lalu ternyata tidak berbuntut senang.

TVRI stasiun tv punya pemerintah yang satu tahun paling akhir memperoleh hak siar untuk menyiarkan Liga Inggris bekerja bersama dengan Mola TV, sekarang tidak lagi menyiarkan tersisa laga liga ini.

Konon tuturnya sebab ada persoalan dalam hak siar yang masih tetap bersengketa.

"Jadi memang kita sekarang ini putuskan tidak untuk menyiarkan dahulu Liga Inggris sebab berkaitan dengan banyak hal yang masih tetap ter-pending dengan pemilik hak siar," tutur Direktur Penting TVRI, Iman Brotoseno seperti diambil account twitter sah TVRI. Seperti dikutip Detik.com.

Saya serta umumnya warga Indonesia tidak memahami benar apakah yang berlangsung sebetulnya dengan persoalan hak siar liga Inggris di Indonesia ini.

Tetapi yang pasti kita fans Liga Inggris tidak dapat nikmati ciamiknya Kevin de Bruyne memberi Assist, bagaimana tindakan pengamanan cemerlang David de Gea, atau gol indah yang dibuat Mohammad Salah.

Bahkan bisa saja yang semakin menyesakkan buat fans Liverpool, mereka terancam tidak dapat melihat langsung mimpinya yang telah 30 tahun terlambat menjadi juara Liga Inggris.

Faksi TVRI akui sedang koalisi serta menginventarisir persoalan yang berada di stasiun tv publik punya negara ini, termasuk juga didalamnya kepentingan hak siar supaya semua clear.

Bermain Taruhan Bola Secara Online Lebih Menguntungkan

Sudah diketahui, setelah kekacauan yang berlangsung di antara Direktur Penting TVRI yang lama, Helmy Yahya dengan Dewan Pengawas TVRI yang diperintah oleh Arief Hidayat Thamrin.

Dewas TVRI selanjutnya membuat penyeleksian Dirut TVRI serta hasilnya pada bulan Mei lalu sudah pilih Iman Brotoseno untuk Dirut TVRI untuk periode 2020 sampai 2022.

Pekerjaan berat sekarang disandang oleh Iman, sebab prestasi Helmy Yahya yang moncer saat pimpin TVRI. Iman akan dituntut minimal menyamakan prestasi Helmy saat jadi Dirut TVRI, termasuk juga menyiarkan Liga Inggris.

Mengapa Liga Inggris jadi salah satunya ukuran? Memperoleh hak siar Liga Inggris ini tidak gampang kecuali mahal, tentunya ada ketentuan serta ketetapan yang perlu dipenuhi untuk memperolehnya, serta itu tidak gampang .

Janganlah lupa Liga Inggris itu adalah liga sepakbola paling terkenal di dunia serta Indonesia. Memperoleh hak siarnya, seperti adalah agunan kualitas untuk mendapatkan pasar sharing yang tinggi.

Itu mengapa waktu Helmy Yahya jadi Dirut TVRI dia berupaya benar-benar keras memperoleh hak siar Liga Inggris yang dia ucap untuk "Killing Program" yang kenyataannya memang dapat jadikan pasar sharing TVRI naik serta melebihi beberapa stasiun tv swasta.

TVRI di zaman Helmy Yahya, dapat disebutkan capai tingkatan yang lumayan tinggi. Dengan cara manajerial lumayan baik, kesejahteraan karyawannya oke dapat dibuktikan dengan cairnya tunjangan performa karyawan TVRI yang sejauh ini tidak mereka peroleh.

Bagian operasional TVRI ikut berbenah , program-program yang sejauh ini berkesan kuno tanpa ada nafas modern terus dibuat baik dengan cara in-house atau dengan memperoleh beberapa hak siar diantaranya Liga Inggris, Discovery Kanal, sampai jadikan TVRI jadi House of Badminton dengan memperoleh hak siar serangkaian kompetisi bulu tangkis BWF.

Disamping itu, simbol kuno TVRI juga bertukar bertambah lebih fresh, beberapa alat tayangan juga bertambah lebih hebat. Selanjutnya susunan SDM TVRI juga ikut dibenahi. 

Dari bagian pengendalian keuangan, Helmy Yahya sukses bawa TVRI pada predikat Lumrah Tanpa ada Ketentuan (WTS) hal yang tidak sempat dicapai oleh TVRI awalnya.

Jejeran perkembangan itu membuat karyawan TVRI semakin bangga jadi karyawan TVRI.Ujung dari beberapa perkembangan itu pada akhirnya membuat pasar sharing TVRI naik cepat dari di bawah 1 menjai di atas 2.

Tetapi ditengah-tengah perkembangan positif itu mendadak kekacauan berlangsung saat Dewas selanjutnya tanpa ada fakta yang pasti mengeluarkan Helmy Yahya.
Berpikir Positif agar Tetap Kreatif

Berpikir Positif agar Tetap Kreatif




Balik lagi mengulas mengenai webinar yang kesempatan ini diselenggarakan oleh Kompasiana serta bekerjasama dengan Bank Indonesia (15/6). Dengan cara pribadi, saya ikut memerhatikan webinar ini hanya karena ingin ketahui bagaimana keterangan dengan cara detil oleh faksi BI berkaitan makroprudensial.

Mujur, awalnya saya sempat melihat content Kompasiana mengenai Bank Indonesia yang dikatakan oleh COO Kompasiana, Nurulloh di Youtube. Ini membuat saya punyai cukup bekal untuk memerhatikan materi yang semakin serius dari faksi Bank Indonesia.

Sebetulnya waktu acara belum dibuka, kanal Kompasiana yang menyiarkan webinar itu menyiarkan content yang dibawakan Mas Nurulloh. Hingga kemudian webinar sah dibuka oleh presenter, lalu dimoderatori oleh COO Kompasiana.

COO Kompasiana, Nurulloh jadi moderator webinar Kompasiana dengan Bank Indonesia. Gambar: Youtube/Kompasiana Narasumber pertama ialah Ita Rulina yang disebut Direktur Departemen Kebijaksanaan Makroprudensial Bank Indonesia. Bu Ita nampak benar-benar dapat sampaikan materi-materi yang sebetulnya cukup berat, ke beberapa contoh yang berkaitan dengan warga dengan cara enjoy.

Ini bisa disaksikan dari bagaimana beliau mengilustrasikan siklus ekonomi makro yang juga bisa berlangsung pada ibu-ibu rumah tangga yang pasti pangkalnya ialah pengelola ekonomi mikro. Sampai bagaimana efek dari kesibukan UMKM pada keadaan ekonomi dengan cara nasional.

Banyaknya materi yang dikatakan oleh Bu Ita, saya mendapatkan dua hal penting dalam hadapi keadaan ekonomi, terutamanya dengan cara faktual di seputar kita.

Pertama, saat sedang mempunyai peningkatan ekonomi, sebutlah saja barusan mendapatkan upah, karena itu jangan langsung memikir jika besok tentu seperti sekarang ini. Berarti, saat berpendapatan, termasuk juga mendapatkan peningkatan upah atau mendapatkan bonus, karena itu kita tetap harus mengatur daya konsumtif kita.

Ke-2, pada kondisi ekonomi nasional, kesemua orang berperanan besar dalam meningkatkan serta turunkan diagramnya. Ini nanti membuat kebijaksanaan di pucuk akan alami perkembangan untuk sesuaikan juga dengan yang sedang berlangsung.

Point ke-2 saya peroleh saat Bu Ita menjelaskan satu diagram yang memperlihatkan keadaan ekonomi nasional pada 2008, 2012, serta 2013. Disana saya pahami mengenai dinamika kebijaksanaan pada badan ekonomi nasional, rupanya dikuasai oleh kesibukan penduduknya.

Bila siklus ekonomi sedang tinggi, karena itu skema akan diperketat, supaya warga tidak jor-joran dalam melakukan aktivitas di bagian ekonomi. Sedang saat siklusnya sedang rendah, karena itu skema dilonggarkan, supaya warga tetap gerakkan roda ekonominya.
Salah satunya pemaparan pada materi dari Direktur Dep. Kebijaksanaan Bank Indonesia, Ita Rulina. Gambar: Youtube/Kompasiana Pasti ini ke arah juga ke point pertama yang dilandasi oleh pemaparan mengenai "boom" serta "bust". Saya sendiri mengaku jika saat barusan mendapatkan upah, pemikiran saya tentu ke arah daftar buku yang harus dibeli.

Pemikiran ini akan ada saat saya mendapatkan bonus atau kira saja ada penghasilan yang lain. Selanjutnya saya memikir jika, "ah esok saya masih dapat makan kok". Walau sebenarnya, saya tidak dapat meramalkan dengan cara pas, termasuk juga saat covid-19 benar-benar berada di Indonesia. Duh, siapa yang menduga?

Tetapi saat refleksi ini makin kuat, malah saya tidak demikian susah, sebab Bu Ita sampaikan jika covid-19 ini masih dapat ditemui. Salah satunya triknya dengan manfaatkan perkembangan peradaban.

Sekarang ini jelas kita semakin dekat dengan beberapa hal yang berbentuk digital, karena itu itu yang semestinya bisa dimaksimalkan. Memang selanjutnya saya cukup dilema untuk mengatakan, "untung covid-19 ini ada saat hape telah makin dekat di tangan kita".

Ini karena saya memikir jika masa digital bukan bermakna warga telah pintar dalam memakainya. Itu kenapa saat telah ada perubahan hidup ke serba digital, saya masih berasa terdapat beberapa warga yang kesusahan untuk menyesuaikan terutamanya saat diminta beralih adanya covid-19.

Ini tidak cuma berlaku di kelas bawah. Di kelas atas juga demikian. Ada banyak peraturan yang kewalahan dalam hadapi perubahan hidup dengan cara paksa ini, sebab kita memanglah belum dapat meramalkan dengan tepat.

Keadaan ini diperjelas dengan pembagian dari pengalaman narasumber yang lain, yakni Nycta Gina. Salah seorang profil publik bagian entertainer ini kenyataannya memberi contoh yang pas untuk hadapi keadaan saat epidemi.
Mbak Gina yang adalah dokter ini rupanya dapat disebutkan sukses untuk seorang pelaku bisnis walau merasai efek dari covid-19. Ada tiga evaluasi yang bisa diambil dari apakah yang dikatakan oleh Mbak Gina.

Pertama, kita harus cari prioritas. Rupanya waktu epidemi, kesejahteraan ialah target utama. Kita harus terjaga untuk dapat makan serta penuhi keperluan yang lain.

Bila tidak, pasti omong kosong bila diwajibkan untuk dapat keep fight dengan corona. Lha wong belum makan kok dibawa perang?

Ke-2, dapat memikir positif. Berarti, waktu ada epidemi yang benar-benar mengganggu beberapa hal, kita semestinya masih bisa mendapatkan beberapa hal yang positif. Ibaratnya ada hujan yang deras, ada kesempatan untuk pelangi ada.

Ke-3, cari atau jaga kreasi. Sebetulnya ini benar-benar terkait dengan pandangan kita mengenai kehadiran masa digital. Bila kita bukan hanya memandang gawai bagus untuk media selingan, karena itu kita dapat membuat gawai yang kita punya untuk media berkreatifitas atau jaga keberadaan.

Post-Truth dan "Mediasi" di Grup WhatsApp

Post-Truth dan "Mediasi" di Grup WhatsApp




Tiap hari, tiap jam, serta tiap menit kemungkinan beberapa dari kita yang terima pemberitahuan pesan di salah satunya sosial media favorite kita yaitu Whatsapp. Khususnya pemberitahuan untuk pesan yang dikirim lewat beberapa grup dengan cara terus-menerus. Isi pesannya bermacam, dari mulai broadcast acara, promo iklan, perkataan selamat, sampai percakapan atau dialog yang lain. Sukur-syukur satu dua tiga group, tapi kalau beberapa puluh bagaimana? Ditambah didalamnya beberapa orang yang sama juga.

Menanggapi hal itu, tiap orang pasti mempunyai langkah pandang serta tanggapan yang berlainan. Ada yang membaca dengan cara serius, ada yang sebatas baca saja sebab ketidaknyamanan pada pemberitahuan, ada pula yang biarkan sampai beberapa ratus sampai beberapa ribu chat bertaburan demikian saja, serta ada juga yang berlaku bodo sangat.

Whatsapp untuk salah satunya produk pengembangan tehnologi info serta internet ini benar-benar sangat digemari warga dunia. Tidaklah heran bila rerata semua pemakai handphone aktif memakai aplikasi ini. Maksudnya pasti bermacam, muai dari arah pekerjaan, persahabatan, pendidikan, usaha, sampai cuma ikutan saja. Trend percakapan serta style komunikasi juga beralih sampai memunculkan ketergantungan yang tinggi pada aplikasi ini sehari-harinya.

Dengan beberapa keringanan pada feature ini. Lalu, bagaimana bila Whatsapp ini dipakai oleh warga Indonesia untuk salah satunya pilihan penuntasan perselisihan horizontal yang dikarenakan kejadian post-truth?

Kemungkinan ada yang sempat terlintas dari pemikiran kita, bagaimana bila beberapa grup Whatsapp kita malah berisi beberapa orang dengan beberapa background yang lain, dan berisi beberapa orang yang baru semua? 

Tujuannya, beberapa orang penghuni group kita berisi beberapa orang dengan ras yang lain, etnis yang beda, agama yang lain, pilihan politik yang lain, dan berunding aktif mengulas beberapa masalah bangsa dengan cara bersama. 

Terutamanya masalah kerukunan, intoleransi, atau perselisihan horizontal lain atau serta masalah sulit yang lain. Ditambah lagi Indonesia yang di daulat untuk negara dengan ketidaksamaan atau multikultural. Ini dapat jadi satu pilihan serta terobosan yang efisien.

Hal tersebut bukan tanpa ada fakta, kemungkinan beberapa dari kita yang masih tetap bergelut melihat persoalan yang sangat classic yaitu mempermasalahkan ketidaksamaan dan mempertentangkannya sebab menganggap kita, barisan kita, maupun ras kita, sampai agama kita yang sangat betul antara seseorang, barisan lain, sampai agama lain serta berbuntut pada politik pasca-fakta (post-truth). 

Walau sebenarnya sebenarnya untuk masyarakat negara, junjung tinggi ketidaksamaan dengan memprioritaskan solidaritas adalah ciri arif seorang masyarakat negara pada negaranya.

Bermain Taruhan Bola Secara Online Lebih Menguntungkan

Tetapi, sering ada sanggahan. "Sebenarnya beberapa grup Whatsapp dengan penghuni yang berlatar belakang beda kan banyak, tinggal didesain saja diskusinya untuk ulas satu masalah spesifik berdasarkan pada ketidaksamaan pemikiran, kan usai?".

Ya, boleh-boleh saja oleh karenanya. Tetapi, bila ini disandarkan cuma pada keharusan untuk sisi dari satu kebutuhan seumpama satu organisasi, barisan mahasiswa, barisan pekerjaan, sampai barisan sosial belum juga jadi konsentrasi penting. 

Konsentrasi penting di sini yaitu jadikan masifnya pemakaian group Whatsapp untuk fasilitas dialog dengan beberapa background yang benar-benar tidak sama kebutuhan, yaitu diisi oleh beberapa orang dengan etnis beda, ras beda, sampai agama beda. Bila telah ada, itu bagus. Tetapi bila belumlah ada, apa kemungkinan ada? Ya, semoga saja ada.

Walau berkesan remeh, tetapi ini membangkitkan penulis untuk sedikit berpendapat tentang pendayagunaan sosial media kita. Satu alat dengan beberapa keringanan untuk jalan keluar yang dapat disebut mendalam dalam kehidupan setiap hari. Awalnya, penulis tertarik dengan salah satunya kejadian yang berlangsung belakangan ini dimana diantaranya disebabkan oleh masifnya pemakaian sosial media yaitu politik pasca-fakta (post-truth).

Post-truth Tumbuh dari Media Sosial

Arti post-truth kencang dibahas di Indonesia saat gelaran Pemilihan presiden 2019 kemarin. Saat itu berlangsung tanding seru dua paslon yaitu Jokowi-Maruf dengan Prabowo-Sandi yang melahirkan polarisasi besar warga Indonesia serta memisahkan mereka dalam dua kutub besar juga yaitu 'cebong serta kampret'. 

Hubungannya, ke-2 kutub besar ini disebut seringkali memakai politik pasca-fakta untuk memberikan dukungan semasing pasangan calon. Contohnya, membetulkan jika paslon A untuk antek-antek PKI, serta membetulkan paslon B simpatisan khilafah.

Hal itu disebutkan politik pasca-fakta hanya karena berbasiskan pada opsi sendiri atau menumpukan pada kebenaran yang dibikin sendiri tanpa ada memberi bukti yang sebenarnya. 

Atau serta jauh dari bukti yang malah mengenalkan sangkaan-dugaan semata-mata supaya pendapat publik terguncang serta meyakini sangkaan yang ditebarkan itu. Oleh karenanya, post-truth dipercayai adalah kejadian politik yang tetap akan tumbuh sebab lahir dari ketidaksamaan politik serta perselisihan kebutuhan.

Menurut Jason Hannan dalam tulisannya yang berjudul Trolling Ourselves to Death? Social Media and Post-truth Politics (2018), menyebutkan kejadian post-truth dibingkai oleh jurnalisme serta tehnologi komunikasi. Kedua-duanya terkait dengan peran perubahan media serta internet. 

Jurnalisme berperanan dalam tumbuhnya post-truth lewat kekhasan mass media yang berperan pada banjirnya info serta pendapat yang ditingkatkan oleh karena kebebasan memiliki pendapat. Sesaat tehnologi info menolong proses penebaran info serta pendapat sebagai bahan pembicaraan di ruang umum. Ke-2 faktor itu bersumber pada perkasanya sosial media untuk alat komunikasi andal share info.

Dengan begitu, lumrah bila sosial media jadi titik sentra masa baru politik pasca-fakta sebab memiliki peranan dalam proses jurnalisme serta perubahan tehnologi info. 

Selanjutnya, Stephan Lewandowsky, Ullrich K.H. Ecker, serta John Cook dalam tulisan yang berjudul Beyond Misinformation: Understanding and Coping with the "Post-Truth" Masa (2017) memberikan tambahan jika dunia pasca-fakta ada untuk dari hasil mega-tren sosial seperti pengurangan modal sosial, bertambahnya polarisasi, serta berkurangnya keyakinan pada sains.
Mengasah Asa di Antara Senja Kala Media Cetak

Mengasah Asa di Antara Senja Kala Media Cetak



Minke, yang disebut nama samaran dari Raden Mas Tirto Adhi Suryo, ialah pendiri media massa harian nasional pertama, media massa berbahasa Melayu yang keluar di Bandung pada Januari 1907 sampai Januari 1912, namanya Medan Priyayi. Semua pekerja, dari mulai pengasuhnya, percetakan, penerbitan, serta wartawannya ialah pribumi Indonesia asli, diurus dengan uang serta perusahaan sendiri.

Tirto Adhi Suryo ialah seorang juara 1 dari ke-3 HBS di Jawa pada jamannya, serta adalah seorang bekas siswa Stovia yang tragisnya wafat karena disentri, dalam kepapaan, tidak lama sesudah datang dari pembuangannya di Maluku.

Ceritanya ada pada novel roman riwayat "Jejak Cara" yang dicatat oleh Pramoedya Ananta Toer, yang disebut sisi dari Tetralogi Buru. Minke berusaha untuk kebebasan dari ketertindasan, bersama-sama pahlawan-pahlawan lain yang namanya kemungkinan tidak diketahui dalam riwayat.

Pramoedya sendiri ialah seorang penulis Indonesia yang berulang-kali dinominasikan untuk memperoleh Nobel Sastra, tetapi belum pernah memenanginya sampai mati. 

Walau bukan aktor sastra seperti Pram, cerita salah seorang praktisi media bikin koran, dalam diri bang Tanjung ini rasa-rasanya kembali lagi mendatangkan satu keharuan akan kehidupan beberapa orang di dunia media bikin, seperti riwayat terbitnya harian nasional pertama namanya Medan Priyayi itu.

Bermain Taruhan Bola Secara Online Lebih Menguntungkan

Sore barusan, waktu nongkrong dalam suatu warung, tidak menyengaja berjumpa dengan Bang Tanjung. Semasa kurang lebih 37 tahun, semenjak tahun 1983, ia kerja untuk seorang loper koran di kampung halaman kami, Kabanjahe, Kabupaten Karo.

Semenjak sembilan bulan lalu, dia stop jadi loper koran serta sampai sekarang berubah jadi seorang pedagang mie serta kerang keliling untuk cari nafkah buat keluarga. Tulisan ini bukanlah cerita biografi beliau, cuma beberapa kecil cerita deskripsi kehidupan dari beberapa orang yang hidup dalam rantai perjalanan koran.

Menurut dia, loper koran adalah motor perjalanan koran di atas lapangan. Ia berbicara mengenai cerita perjalanan koran, dari mulai tulisan yang dibikin oleh wartawan, masuk serta diciptakan di percetakan, diambil oleh agen koran serta setelah itu dialirkan oleh beberapa loper koran ke beberapa rumah pembaca.

Di tahun 1983 itu ia mengingat ada 6 harian lokal di Sumatera Utara, serta beberapa harian nasional yaitu Kompas, Suara Pembaharuan, serta Suara Karya. Beberapa dari beberapa nama koran ini masih bertahan serta merajai oplah koran di kota serta desa-desa di kampung ini.

Menurut pengalaman yang dilaluinya, pucuk kemasyhuran media bikin berjalan sampai tahun 2010. Situasi ini relatif bertahan s/d tahun 2015. Tetapi, trendnya terus turun dari mulai tahun 2016 sampai sekarang, serta ikut berimbas ke tingkat pendapatannya yang terus turun.

Beberapa nama koran lokal yang ia ingat bersamaan dengan awal aksinya di tahun 1983 itu ialah harian Bukit Barisan, Mimbar Umum, Medan Pos, Cahaya Indonesia Baru, Analisis, serta Siaga. Tetapi, beberapa harian yang masih tetap bertahan itu dengan situasi yang tidak gampang serta beberapa lagi semakin bertahan di versus online.