Jumat, 19 Juni 2020

Mengasah Asa di Antara Senja Kala Media Cetak

SHARE


Minke, yang disebut nama samaran dari Raden Mas Tirto Adhi Suryo, ialah pendiri media massa harian nasional pertama, media massa berbahasa Melayu yang keluar di Bandung pada Januari 1907 sampai Januari 1912, namanya Medan Priyayi. Semua pekerja, dari mulai pengasuhnya, percetakan, penerbitan, serta wartawannya ialah pribumi Indonesia asli, diurus dengan uang serta perusahaan sendiri.

Tirto Adhi Suryo ialah seorang juara 1 dari ke-3 HBS di Jawa pada jamannya, serta adalah seorang bekas siswa Stovia yang tragisnya wafat karena disentri, dalam kepapaan, tidak lama sesudah datang dari pembuangannya di Maluku.

Ceritanya ada pada novel roman riwayat "Jejak Cara" yang dicatat oleh Pramoedya Ananta Toer, yang disebut sisi dari Tetralogi Buru. Minke berusaha untuk kebebasan dari ketertindasan, bersama-sama pahlawan-pahlawan lain yang namanya kemungkinan tidak diketahui dalam riwayat.

Pramoedya sendiri ialah seorang penulis Indonesia yang berulang-kali dinominasikan untuk memperoleh Nobel Sastra, tetapi belum pernah memenanginya sampai mati. 

Walau bukan aktor sastra seperti Pram, cerita salah seorang praktisi media bikin koran, dalam diri bang Tanjung ini rasa-rasanya kembali lagi mendatangkan satu keharuan akan kehidupan beberapa orang di dunia media bikin, seperti riwayat terbitnya harian nasional pertama namanya Medan Priyayi itu.

Bermain Taruhan Bola Secara Online Lebih Menguntungkan

Sore barusan, waktu nongkrong dalam suatu warung, tidak menyengaja berjumpa dengan Bang Tanjung. Semasa kurang lebih 37 tahun, semenjak tahun 1983, ia kerja untuk seorang loper koran di kampung halaman kami, Kabanjahe, Kabupaten Karo.

Semenjak sembilan bulan lalu, dia stop jadi loper koran serta sampai sekarang berubah jadi seorang pedagang mie serta kerang keliling untuk cari nafkah buat keluarga. Tulisan ini bukanlah cerita biografi beliau, cuma beberapa kecil cerita deskripsi kehidupan dari beberapa orang yang hidup dalam rantai perjalanan koran.

Menurut dia, loper koran adalah motor perjalanan koran di atas lapangan. Ia berbicara mengenai cerita perjalanan koran, dari mulai tulisan yang dibikin oleh wartawan, masuk serta diciptakan di percetakan, diambil oleh agen koran serta setelah itu dialirkan oleh beberapa loper koran ke beberapa rumah pembaca.

Di tahun 1983 itu ia mengingat ada 6 harian lokal di Sumatera Utara, serta beberapa harian nasional yaitu Kompas, Suara Pembaharuan, serta Suara Karya. Beberapa dari beberapa nama koran ini masih bertahan serta merajai oplah koran di kota serta desa-desa di kampung ini.

Menurut pengalaman yang dilaluinya, pucuk kemasyhuran media bikin berjalan sampai tahun 2010. Situasi ini relatif bertahan s/d tahun 2015. Tetapi, trendnya terus turun dari mulai tahun 2016 sampai sekarang, serta ikut berimbas ke tingkat pendapatannya yang terus turun.

Beberapa nama koran lokal yang ia ingat bersamaan dengan awal aksinya di tahun 1983 itu ialah harian Bukit Barisan, Mimbar Umum, Medan Pos, Cahaya Indonesia Baru, Analisis, serta Siaga. Tetapi, beberapa harian yang masih tetap bertahan itu dengan situasi yang tidak gampang serta beberapa lagi semakin bertahan di versus online.

SHARE

Author: verified_user