Jumat, 19 Juni 2020

Post-Truth dan "Mediasi" di Grup WhatsApp

SHARE



Tiap hari, tiap jam, serta tiap menit kemungkinan beberapa dari kita yang terima pemberitahuan pesan di salah satunya sosial media favorite kita yaitu Whatsapp. Khususnya pemberitahuan untuk pesan yang dikirim lewat beberapa grup dengan cara terus-menerus. Isi pesannya bermacam, dari mulai broadcast acara, promo iklan, perkataan selamat, sampai percakapan atau dialog yang lain. Sukur-syukur satu dua tiga group, tapi kalau beberapa puluh bagaimana? Ditambah didalamnya beberapa orang yang sama juga.

Menanggapi hal itu, tiap orang pasti mempunyai langkah pandang serta tanggapan yang berlainan. Ada yang membaca dengan cara serius, ada yang sebatas baca saja sebab ketidaknyamanan pada pemberitahuan, ada pula yang biarkan sampai beberapa ratus sampai beberapa ribu chat bertaburan demikian saja, serta ada juga yang berlaku bodo sangat.

Whatsapp untuk salah satunya produk pengembangan tehnologi info serta internet ini benar-benar sangat digemari warga dunia. Tidaklah heran bila rerata semua pemakai handphone aktif memakai aplikasi ini. Maksudnya pasti bermacam, muai dari arah pekerjaan, persahabatan, pendidikan, usaha, sampai cuma ikutan saja. Trend percakapan serta style komunikasi juga beralih sampai memunculkan ketergantungan yang tinggi pada aplikasi ini sehari-harinya.

Dengan beberapa keringanan pada feature ini. Lalu, bagaimana bila Whatsapp ini dipakai oleh warga Indonesia untuk salah satunya pilihan penuntasan perselisihan horizontal yang dikarenakan kejadian post-truth?

Kemungkinan ada yang sempat terlintas dari pemikiran kita, bagaimana bila beberapa grup Whatsapp kita malah berisi beberapa orang dengan beberapa background yang lain, dan berisi beberapa orang yang baru semua? 

Tujuannya, beberapa orang penghuni group kita berisi beberapa orang dengan ras yang lain, etnis yang beda, agama yang lain, pilihan politik yang lain, dan berunding aktif mengulas beberapa masalah bangsa dengan cara bersama. 

Terutamanya masalah kerukunan, intoleransi, atau perselisihan horizontal lain atau serta masalah sulit yang lain. Ditambah lagi Indonesia yang di daulat untuk negara dengan ketidaksamaan atau multikultural. Ini dapat jadi satu pilihan serta terobosan yang efisien.

Hal tersebut bukan tanpa ada fakta, kemungkinan beberapa dari kita yang masih tetap bergelut melihat persoalan yang sangat classic yaitu mempermasalahkan ketidaksamaan dan mempertentangkannya sebab menganggap kita, barisan kita, maupun ras kita, sampai agama kita yang sangat betul antara seseorang, barisan lain, sampai agama lain serta berbuntut pada politik pasca-fakta (post-truth). 

Walau sebenarnya sebenarnya untuk masyarakat negara, junjung tinggi ketidaksamaan dengan memprioritaskan solidaritas adalah ciri arif seorang masyarakat negara pada negaranya.

Bermain Taruhan Bola Secara Online Lebih Menguntungkan

Tetapi, sering ada sanggahan. "Sebenarnya beberapa grup Whatsapp dengan penghuni yang berlatar belakang beda kan banyak, tinggal didesain saja diskusinya untuk ulas satu masalah spesifik berdasarkan pada ketidaksamaan pemikiran, kan usai?".

Ya, boleh-boleh saja oleh karenanya. Tetapi, bila ini disandarkan cuma pada keharusan untuk sisi dari satu kebutuhan seumpama satu organisasi, barisan mahasiswa, barisan pekerjaan, sampai barisan sosial belum juga jadi konsentrasi penting. 

Konsentrasi penting di sini yaitu jadikan masifnya pemakaian group Whatsapp untuk fasilitas dialog dengan beberapa background yang benar-benar tidak sama kebutuhan, yaitu diisi oleh beberapa orang dengan etnis beda, ras beda, sampai agama beda. Bila telah ada, itu bagus. Tetapi bila belumlah ada, apa kemungkinan ada? Ya, semoga saja ada.

Walau berkesan remeh, tetapi ini membangkitkan penulis untuk sedikit berpendapat tentang pendayagunaan sosial media kita. Satu alat dengan beberapa keringanan untuk jalan keluar yang dapat disebut mendalam dalam kehidupan setiap hari. Awalnya, penulis tertarik dengan salah satunya kejadian yang berlangsung belakangan ini dimana diantaranya disebabkan oleh masifnya pemakaian sosial media yaitu politik pasca-fakta (post-truth).

Post-truth Tumbuh dari Media Sosial

Arti post-truth kencang dibahas di Indonesia saat gelaran Pemilihan presiden 2019 kemarin. Saat itu berlangsung tanding seru dua paslon yaitu Jokowi-Maruf dengan Prabowo-Sandi yang melahirkan polarisasi besar warga Indonesia serta memisahkan mereka dalam dua kutub besar juga yaitu 'cebong serta kampret'. 

Hubungannya, ke-2 kutub besar ini disebut seringkali memakai politik pasca-fakta untuk memberikan dukungan semasing pasangan calon. Contohnya, membetulkan jika paslon A untuk antek-antek PKI, serta membetulkan paslon B simpatisan khilafah.

Hal itu disebutkan politik pasca-fakta hanya karena berbasiskan pada opsi sendiri atau menumpukan pada kebenaran yang dibikin sendiri tanpa ada memberi bukti yang sebenarnya. 

Atau serta jauh dari bukti yang malah mengenalkan sangkaan-dugaan semata-mata supaya pendapat publik terguncang serta meyakini sangkaan yang ditebarkan itu. Oleh karenanya, post-truth dipercayai adalah kejadian politik yang tetap akan tumbuh sebab lahir dari ketidaksamaan politik serta perselisihan kebutuhan.

Menurut Jason Hannan dalam tulisannya yang berjudul Trolling Ourselves to Death? Social Media and Post-truth Politics (2018), menyebutkan kejadian post-truth dibingkai oleh jurnalisme serta tehnologi komunikasi. Kedua-duanya terkait dengan peran perubahan media serta internet. 

Jurnalisme berperanan dalam tumbuhnya post-truth lewat kekhasan mass media yang berperan pada banjirnya info serta pendapat yang ditingkatkan oleh karena kebebasan memiliki pendapat. Sesaat tehnologi info menolong proses penebaran info serta pendapat sebagai bahan pembicaraan di ruang umum. Ke-2 faktor itu bersumber pada perkasanya sosial media untuk alat komunikasi andal share info.

Dengan begitu, lumrah bila sosial media jadi titik sentra masa baru politik pasca-fakta sebab memiliki peranan dalam proses jurnalisme serta perubahan tehnologi info. 

Selanjutnya, Stephan Lewandowsky, Ullrich K.H. Ecker, serta John Cook dalam tulisan yang berjudul Beyond Misinformation: Understanding and Coping with the "Post-Truth" Masa (2017) memberikan tambahan jika dunia pasca-fakta ada untuk dari hasil mega-tren sosial seperti pengurangan modal sosial, bertambahnya polarisasi, serta berkurangnya keyakinan pada sains.
SHARE

Author: verified_user